Nadra Aprilia
Tuk tuk tuk tuk
Suara langkah kaki seorang wanita cantik yang memakai high heels putih memantul di sebuah lorong panjang. Wanita itu tampak anggun dengan gaun putih selutut miliknya, bahunya yang putih mulus dibiarkan terbuka tanpa kain sehelai pun. Tatapan wanita itu lurus ke depan seolah ia sangat tahu ke mana tujuannya. Di tangannya sudah siap sebuah senapan tua AK-107, peninggalan sang ayah yang sudah lama meninggal. Semakin dekat, ia semakin jelas mendengar suara degup musik dan suara riuh dari orang-orang. Ia berjalan santai ke tengah lantai dansa, sekalipun beberapa orang sudah mulai lari ketakutan melihat senjata yang ia bawa. Beberapa yang lainnya tidak peduli dan hanya membiarkannya saja. Lalu tiba-tiba musik berganti.
Robert's got a quick hand
He'll look around the room, but won't tell you his plan
He's got a rolled cigarette
Hanging out his mouth, he's a cowboy kid, yeah
Semua orang bingung dan saling bertatapan, beberapa berteriak memaki ke arah DJ, yang lainnya tetap minum-minum dan berusaha menikmati keadaan. Tria sendiri sedang menyiapkan senjatanya, memastikan semua peluru sudah siap meluncur.
He found a six-shooter gun
In his dad's closet, and with a box of fun things
I don't even know what
But he's coming for you, yeah, he's coming for you
Beberapa yang berada di dekat Tria coba merayunya, ada yang meledeknya bahwa ia hanya mencari sensasi dengan senjatanya itu. Yang lainnya mulai berusaha tetap menikmati suasana dengan ikut bernyanyi sesuai lagu. Tria tersenyum saat memasuki bagian lirik yang ia suka, badannya mulai bergerak menikmati irama musik, tidak mempedulikan beberapa pria yang mulai menjamahnya. Lalu tiba-tiba,
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run
Outrun my gun
DOR! DOR! DOR! DOR!
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run
Faster than my bullet
DOR! DOR! DOR! DOR!
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run
Outrun my gun
Musik dan suara tembakan saling beriringan. Tria tertawa lepas sambil menembakkan pelurunya ke sembarang arah. Gaun putihnya kini sudah penuh cipratan darah. Suara teriakan di mana-mana, ada yang menangis dan berlari. Saat ada yang mencoba lari ke arahnya, langsung ia tembak tanpa belas kasih. Semakin banyak yang terluka atau bahkan mati, maka ia akan semakin senang.
Kurang dari lima menit. Tepat setelah lagu itu selesai, lampu yang semula remang menyala terang dan pemandangan mengerikan tersaji di depan mata. Lautan darah dan mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Hanya sayup teriakkan minta tolong yang terdengar sekarang. Kemudian Tria memanggil Ben. Dari tempat DJ, Ben membawa seorang pria bersamanya, pria itu menangis dan memohon ampun. Dengan tatapan tajam Tria menampar pria itu.
“Harusnya kau meminta maaf pada adikku bajingan!” ucapnya sambil menjambak rambut pria itu.
“A... aku tidak tahu apa-apa,” jawab pria itu terbata-bata.
“Kau yang sudah memperkosa Anna, tolol!”
“Maafkan aku. Aku tidak melakukan apa-apa padanya sungguh.”
PLAK
Sebuah tamparan keras dilayangkan lagi oleh Tria, kali ini tubuh pria itu tersungkur menimpa mayat yang masih segar, membuatnya bergidik ngeri sekaligus makin ketakutan. Jack adalah nama dari pria itu. Ialah yang memperkosa Anna, membuat Anna gila dan akhirnya bunuh diri. Ketika itu terjadi tak seorangpun yang berada di bar ini menolong Anna, bahkan Anna diusir karena telah menimbulkan kegaduhan. Anna memang memiliki keterbelakangan mental, karena itu tidak ada yang mempedulikannya.
Tria dan Ben bergantian memegang pistol, giliran pertama adalah Ben, ia memilih untuk menembak kaki kanan Jack, berikutnya Tria, ia menembak tangan kiri pria itu. Hal itu terus berlanjut sampai peluru habis. Jack dibiarkan menderita dan merasakan sakit yang panjang sebelum akhirnya ia mati seperti yang lainnya.
“Hahaha… dia sudah tidak bisa ke mana-mana, dia sekarat,” kata Ben sambil tertawa.
“Bagus. Tempat ini mungkin sudah dikepung polisi, tapi setidaknya kita bisa merayakan kemenangan kita sebentar kan?” tanya Tria sambil menawarkan segelas wine untuk Ben.
“Cheers.”
Keduanya bersulang penuh kemenangan. Tapi kemudian, Ben batuk berkali-kali, Tria menatapnya dingin. Batuk Ben semakin menjadi sampai ia tersungkur.
“Kau! Kau yang melakukan ini?!” tanya Ben setengah berteriak di sela batuknya.
“Kau pikir aku tidak tahu yang sebetulnya kau lakukan pada Anna sewaktu aku di penjara? Aku tidak bodoh Ben,” kata Tria masih dengan raut wajah dan nada bicara yang dingin.
“Sialan kau! Bajingan kau, Tria!” Ben memaki sejadi-jadinya.
“Jangan khawatir, itu hanya racun yang akan melumpuhkan otakmu. Aku mendapatkannya dari kawan satu selku, katanya cukup untuk membuatmu tidak dapat bergerak sama sekali atau bahkan berbicara. Kau harus lebih dulu menderita sebelum mati, Ben.”
Semakin lama suara Ben tidak lagi terdengar. Mulutnya mengeluarkan busa yang banyak. Sementara itu, suara sirine sudah terdengar samar dari luar. Polisi tiba dan menangkap Tria. Tria dibawa menuju mobil. Petugas berlarian menyelamatkan orang-orang yang masih hidup. Di dalam mobil polisi, Tria menatap liontin berisi foto adiknya. “Aku sudah membalasnya, Anna,” katanya perlahan, air matanya mengalir, ia menangis bahagia.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Anna tidak mau, Kak Ben.”
“Tidak apa-apa, kita kan sudah sering bermain.”
“Sakit… sakit… aku takut.”
“Tidak apa-apa, ayolah. Kalau kau mau, kita akan pergi mengunjungi Tria besok.”
“Aku takut… Aku takut.”
“Argh! Cepat kemari perempuan jalang!”
“AAAA SAKIT, JANGAN PUKUL ANNA, SAKIT!”
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------